Jumat, 11 Maret 2011

wawasan nusantara (perwujudan kepulauan nusantara)

Pengertian Wawasan Nusantara.

Setiap bangsa mempunyai wawasan nasional (national outlook) yang merupakanvisi bangsa yang bersangkutan meneju ke masa depan. Adapun wawasan nasionalbangsa Indonesia di kenal dengan Wawasan Nusantara. Istilah wawasan nusantaraterdiri dari dua buah kata yakni wawasan dan nusantara. Wawasan berasal dari kata‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan inderawi. Akar kata inimembentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Sehinggawawasan dapat berarti cara pandang, cara meninjau, atau cara melihat. SedangkanNusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau – pulau, dan ‘antara’ yang berartidiapit di antara dua hal (dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta duasamudera yakni samudera Pasifik dan samudera Hindia). Berdasarkan teori-teoritentang wawasan, latar belakang falsafah pancasila, latar belakang pemikiran aspekkewilayahan, aspek sosial budaya, dan aspek kesejarahan, terbetuklah satu wawasannasional indonesia yang disebut wawasan nusantara dengan rumusan pengertian yangsampai ini berkembang sebagai berikut:

1. Pengertian wawasan nusantara berdasarkan ketetapan majelis permusyawarahanrakyat tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN adalah sebagai berikut: wawasannusantara yang merupakan wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila danberdasarkan UUD 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesiamengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuanbangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

2. Pengertian wawasan nusantara menurut prof. Dr. Wan usman (Ketua Program S-2PKN – UI ) “wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa indonesia mengenaidiri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupanyang beragam.”. Hal tersebut disampaikannya saat lokakarya wawsan nusantaradan ketahanan nasional di Lemhanas pada Januari 2000. Ia juga menjelaskanbahwa wawasan nusantara merupakan geopolitik indonesia.

3. Pengertian wawasan nusantara, menurut kelompok kerja wawasan nusantara, yangdiusulkan menjadi ketetapan majelis permusyawaratan rakyat dan dibuat diLemhanas tahun 1999 adalah sebagai berikut: “cara pandang dan sikap bangsaindonesia mengenai diri dan lingkungannya yang berseragam dan bernilai strategisdengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayahdalam menyelengarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegarauntuk mencapai tujuan nasional.” Secara umum wawasan nasional berarti carapandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasarfalsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografinegaranya untuk mencapai tujuan atau cita – cita nasionalnya. Sedangkan arti dariwawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri danlingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografiwilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan ataucita – cita nasionalnya. Dengan demikian wawasan nusantara berperan untukmembimbing bangsa Indonesia dalam penyelengaraan kehidupannya serta sebagairambu – rambu dalam perjuanagan mengisi kemerdekaan. Wawasan nusantarasebagai cara pandang juga mengajarkan bagaimana pentingnya membinapersatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan negaradalam mencapai tujuan dan cita – citanya.

Isi Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara mencakup :

1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam arti :

a) Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.

b) Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.

c) Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.

d) Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.

e) Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

f) Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

g) Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.

2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti :

a) Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.

b) Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.

c) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti :

a) Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa.

b) Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai – nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.

4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti :

a) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

b) Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.

Referensi :

http://www.scribd.com

http://syadiashare.com

Kamis, 10 Maret 2011

GLOBALISASI (dampak terhadap agama)

Sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada pemusuhan.

Yusuf al-Qaradhawi

Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:

1. Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet- dan Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-. Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.

2. Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.

3. Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.[2]

Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.

Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita.

Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini. Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin berikut ini:

1. Apa itu globalisasi?

2. Kegelisahan bangsa-bangsa dunia akan krisis identitas mereka akibat globalisasi. (Dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)

3. Bagaimana menyelesaikan dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.

4. Bagaimana memanfaatkan globalisasi sebagai jalan untuk memperteguh identitas muslim.

Apa Itu Globalisasi?

Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:

Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:

Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah penjajahan tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer yang kasat mata. Secara sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat berkuasa manusia atas ekonomi dan pasar lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi di sini (dalam globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi) adalah upaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.

Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi sepenuhnya berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang menggerakkan globalisasi itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun tidak memiliki aroma ekonomi yang kental, sesungguhnya adalah alat untuk menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun sebenarnya pengaitan globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang kontradiktif: paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini menghalangi banyak negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan produk-produk penunjang kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik, kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.

Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh W.C. Smith.[5] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:

Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.

Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad Samir al-Munir yang menyatakan:

Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasilitas yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya...

Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, -masih menurut Walter- gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.

Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:

Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.

Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif dan integral terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak sekedar mewakili salah satu dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi misalnya menguraikan batasan globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3 hal:ekonomi, politik, dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan dalam proses menuju itu, pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi, dan tujuannya adalah menekan dunia untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh kekuatan kapitalisme (Tujuh negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk mengawasi dan membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun negara-negara baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian internal; semuanya dengan tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara dunia terhadap kapitalisme –yang memang tidak akan mencapai kestabilannya kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran, yang bertujuan mencerabut akar bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia, dengan tujuan menyapuratakan dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar global; seperti menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan ketergantungan pada negara-negara maju.

Respon Agama : Memahami Peta Gerakan Anti Globalisasi

Dikarenakan berbagai dampak buruk globalisasi, wajar kalau muncul respon berupa protes dan kritik tajam terhadap globalisasi, yang disimbolkan dengan berbagai simptomnya, seperti WTO dan berbagai summit yang dilakukan oleh G-8, IMF, EU, APEC, AFTA, dan seterusnya. Gelombang protes atas globalisasi di Seattle pada Nopember 1999, berlanjut di kota-kota besar lain tempat berbagai pertemuan internasional berlangsung, seperti Washington, Millan, Melbourne, Prague, Nice, Gothenburg, Quebec City, Genoa, London, Barcelona, Doha, dan Cancun. (Sejati & Martanto, 2006:91).

Bagaimana peta gerakan anti globalisasi yang ada? Lalu di mana posisi agama dalam peta gerakan tersebut? Eric Hiariej dalam artikelnya Gerakan Anti Kapitalisme Global telah mencoba membuat peta gerakan anti globalisasi itu, namun memang tidak jelas di mana posisi atau peran agama dalam peta yang dibuatnya tersebut. (Sejati & Martanto, 2006:85-107).

Hiariej mengutip klasifikasi gerakan anti globalisasi menurut Manfred Steger (2002) dan Callinicos (2003). Dalam versi Manfred Steger, gerakan ini secara sederhana dipilah mengikuti pemilahan klasik “kanan” dan “kiri” sebagai berikut :

Pertama, kelompok kanan, yaitu para proteksionis nasionalis, yang cenderung menyalahkan globalisasi sebagai biang penyebab berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik yang menimpa masyarakat di negara asalnya. Mereka mencela perdagangan bebas, kekuatan investor global, dan perusahaan multinasional yang dianggap menyumbang kerusakan sosial di negara mereka. Para proteksionis nasionalis menuntut keutuhan bangsa dan negaranya dari elemen-elemen asing. Menurut Steger, mereka ini contohnya adalah Patrick Buchanan, Jorg Haidar, Jean-Marie Lepen, Gerhard Frey dan Gianfranco Fini.

Kedua, kelompok kiri, yang disebut Steger egalitarian internasionalis. Mereka ini meliputi partai-partai politik progresif dengan visi dunia yang lebih adil dan merata antara Utara dan Selatan, serta berbagai NGO yang mengusung isu-isu lingkungan, HAM, buruh, dan perempuan. Para egalitarian internasionalis menuduh para elit penggerak globalisasi telah memaksakan neoliberalisme yang menjadi sumber ketimpangan global, pengangguran, degradasi lingkungan, dan matinya kesejahteraan sosial. Kelompok kiri ini bermaksud mengambil alih proses globalisasi dari tangan para pengambil kebijakan neoliberal dan pemilik modal. Menurut Steger, mereka ini contohnya adalah aktivis anti korporasi Ralph Nader, kelompok pergerakan seperti Zapatista (Meksiko) dan Chipko (India), dan berbagai NGO seperti International Forum on Globalization, Global Exchange, dan Focus on the Global South. (Sejati & Martanto, 2006:97-98).

Sementara menurut Callinicos (2003) gerakan anti globalisasi dipilah lebih lengkap menjadi enam kelompok :

Pertama, kelompok reaksioner, atau para romantic capitalism. Mereka memperjuangkan masyarakat baru berdasarkan kerinduan akan masa lalu yang ideal tanpa sepenuhnya menolak modernitas. Contohnya kelompok dengan ideologi Kanan Jauh di Amerika yang memandang integrasi transnasional sebagai ancaman serius.

Kedua, para borjuis penentang kapitalisme. Mereka ini contohnya Norena Heertz yang posisi ideologisnya sebenarnya tidak anti kapitalisme. Bagi Hertz, yang menjadi soal bukan korporasi besar, tapi perimbangan antara politik dan pasar. Mengingat globalisasi menempatkan politik di bawah kendali pasar, maka kelompok ini menyerukan harus ada perimbangan politik dan pasar, agar korporasi besar tidak mengendalikan negara demi kepentingannya sendiri.

Ketiga, kelompok localist anti-capitalism. Kelompok ini mencakup aktivis dan intelektual yang memperjuangkan mekanisme pasar yang diperbarui dan lebih terdesentralisasi sebagai jawaban terhadap globalisasi. Mereka mengajukan localization, sebagai alternatif globalisasi. Gagasan ini diwujudkan dalam bentuk fair trade pada level mikro antara produsen dan konsumen. Konsumen di Utara harus mengutamakan hubungan dagang yang lebih adil terhadap produsen di Selatan.

Keempat, kelompok reformis. Mereka merupakan kelompok gerakan buruh yang reformis, dengan mengacu pada strategi demokrasi sosial (sosdem) untuk menggapai sosialisme lewat jalan parlementer. Mereka ingin membuat kapitalisme yang lebih manusiawi, atau lebih terregulasi. Contoh figurnya adalah James Tobin dan Susan George, yang menghendaki kembalinya kapitalisme Keynesian yang diperbarui, bukan hanya untuk Amerika dan Eropa, tapi juga untuk seluruh dunia.

Kelima, para otonomis. Dengan inspirasi gerakan Tute Bianche di Italia dan Zapatista di Mexico, kelompok otonomis menolak sentralisasi kekuatan dan justru mengedepankan metode yang berbeda-beda dalam mengorganisir berbagai aksi perlawanan.

Keenam, para sosialis. Mereka adalah sisa-sisa elemen sosialis sekitar gerakan buruh dan organisasi revolusioner, setelah surutnya sosialisme. Sebagian besar mereka adalah kaum sosialis yang mewarisi tradisi Trotskyisme, terutama yang berada di Eropa Barat. (Sejati & Martanto, 2006:98-101).

Dari paparan Eric Hiariej di atas, baik versi Steger maupun Callinicos, tidak nampak bagaimana respon atau sikap agama dalam peta gerakan-gerakan yang menentang globalisasi. Namun dalam pemetaan yang dilakukan Mansour Fakih (2001:223-226), agak sedikit lebih jelas di mana peran agama dalam penentangan terhadap globalisasi. Menurut Fakih, para penentang globalisasi dapat diidentifikasikan dalam tiga kelompok :

Pertama, kelompok gerakan kultural dan agama. Menurut Fakih, sebagai bentuk resistensi terhadap globalisasi, gerakan berbasis agama timbul di mana-mana. Dia contohkan, di Mesir, kekecewaan terhadap pembangunan telah melahirkan gerakan berbasis keagamaan yang dilabeli dengan fundamentalis Islam. Di India, resistensi terhadap globalisasi nampak pada kelompok Hindu Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak India untuk memboikot barang buatan asing.

Kedua, kelompok new social movement dan global civil society. Mereka adalah gerakan yang menentang pembangunan dan globalisasi, seperti gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat akar rumput. Contohnya adalah KAU (Koalisi Anti Utang) di Indonesia, serta berbagai koalisi LSM yang menentang WTO.

Ketiga, kelompok lingkungan. Mereka berupaya untuk memberdayakan rakyat (eko-populisme) dan membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh praktik ekonomi modern di bawah pengaruh globalisasi. Contohnya gerakan Chipko (Chipko Movement) di India, yang menentang perusahaan penebangan hutan. WALHI di Indonesia juga merupakan salah satu contohnya. (Fakih, 2001:223-226).

Dari deskripsi Mansour Fakih di atas, menjadi agak jelas bagaimana posisi dan respon agama dalam menghadapi globalisasi. Agama-agama, khususnya Islam, ternyata menunjukkan sikap menolak dan melawan globalisasi, meski Fakih masih terjebak dalam kerangka tipologi intelektual Barat yang menyebut gerakan-gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyah) sebagai kelompok Fundamentalisme Agama yang berkonotasi negatif. (Adams, 2004:425-458).

Dapat ditambahkan, respon agama terhadap globalisasi juga dilukiskan oleh Norena Heertz ketika dia menyayangkan bagaimana terkikisnya identitas masyarakat Budha di kerajaan Bhutan. Kerajaan yang terletak di antara Tibet dan India ini, berubah gaya hidupnya dari sederhana menjadi konsumtif dan hedonis gara-gara globalisasi. (Wahono & Wibowo, 2003:13-46). Respon kalangan Katolik terhadap globalisasi, juga dapat ditunjukkan sebagaimana disinggung sekilas oleh Gilpin dan Gilpin (2002). Paus Johannes Paulus II dianggap sebagai penentang globalisasi dari kelompok Komunitarian, yakni kelompok yang menginginkan kembalinya komunitas-komunitas lokal, mandiri, dan terjalin erat, bukan komunitas yang didominasi perusahaan multinasional, pasar modal, dan birokrat internasional seperti IMF dan WTO. (Gilpin & Gilpin, 2002:332-335).

Bagi umat Islam, globalisasi memang sangat berbahaya. Sebab umat Islam tidak hanya merasakan bahayanya dari sudut ekonomi, seperti kemiskinan, namun juga bahayanya secara ideologi, yakni terancamnya orisinalitas ajaran Islam. Contohnya adalah penyelenggaraan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) oleh PBB di Kairo, September 1994. Konferensi itu sangat membahayakan karena berusaha melegalkan zina, homoseksual, lesbianisme, aborsi. Padahal semua itu haram menurut Islam. (Usman, 2003:262-263). Contoh lainnya adalah bagaimana agen-agen globalisasi juga merusak ajaran Islam lewat pendidikan. Di negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Mesir, dan lain-lain telah dilakukan perubahan kurikulum Islam dengan dalih perkembangan jaman. Arab Saudi mengubah materi al-wala` wa al-bara` (loyalitas dan disloyalitas). Sementara Yordania, Mesir, dan Kuwait mengubah materi tentang jihad dan perang melawan kafir agresor, seperti Yahudi dan Nasrani. Negara-negara itu juga mengubah konsep-konsep Islam yang dibenci AS. (An-Nabhani, 2006:103).

Referensi :

http://hizbut-tahrir.or.id

http://mawardy-alkotamby.blogspot.com